Berdakwah Dengan Akhlak Mulia
BERDAKWAH DENGAN AKHLAK MULIA
Oleh
Ustadz Abu Abdir Rahman Abdullah Zaen, MA.
Sebuah renungan dari sepenggal kisah nyata
Seorang preman mendapatkan hidayah mengenal manhaj Salaf. Dulu, ia dibenci masyarakat karena suka mengganggu, gemar mabuk, berjudi, mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan masyarakat. Namun tidak ada seorang pun yang berani menegurnya, karena takut mendapatkan bogem mentah darinya.
Setelah mengenal dakwah Ahlu Sunnah ini, ia berubah menjadi orang yang baik (shalih) dan alim, hanya saja masyarakat tetap tidak menyenanginya, tetap membencinya, padahal ia sudah meninggalkan keburukanya dulu. Kalau dulu masyarakat tidak berani menegurnya, sekarang malah berani memarahi, bahkan menyidangnya pula. Apa pasalnya?
Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan keras orang tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di masyarakat.Dulu dibenci karena ‘kepremanannya’, sekarang dibenci karena ‘keshalihan’nya…
Haruskah orang yang mengikuti manhaj Salaf menghadapi kebencian dari masyarakat? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak meminimalisirnya?
Benar, seseorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan menghadapi tantangan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Ulama Salaf saja sudah terlebih dulu menghadapi tantangan. Para pengusung kebenaran, apalagi di akhir zaman ini, akan tetap dihadang oleh tantangan dimana kejahatan lebih mendominasi dunia dibandingkan kebaikan.
Namun, yang perlu menjadi catatan di sini, apakah kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj Salaf, murni diakibatkan keteguhan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau disebabkan factor lain, seperti tidak bisa membawa diri dengan baik di tengah masyarakat, , kurang cakap dalam dalam menjelaskan prinsip dan kurang pandai dalam menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah (dakwah Salaf) dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru disyariatkan?
Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominant dalam melahirkan antipati masyarakat.
Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari Allâh semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.
Perintah untuk berakhlak mulia
Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam ajarannya. Begitu banyak dalil dalam al-Qur’ân maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya:
Firman Allâh Azza wa Jalla tatkala memuji Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur [al-Qalam/68 : 4]
Juga sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Pergaulilah manusia dengan akhlak mulia (HR. at-Tirmidzi no. 1987 dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan shahih)
Apa itu akhlak mulia?
Banyak definisi yang disampaikan Ulama. Definisi yang cukup mewakili adalah:
بَذْلُ النَّدَى وَكَفُّ الْأَذَى وَاحْتِمَالُ الْأَذَى
Akhlak mulia adalah berbuat baik kepada orang lain, mengindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri ketika disakiti[1]
Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam:
- Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya : berkata jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya.
- Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya : tidak mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.
- Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa.
Apa maksud dakwah dengan akhlak?
Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk penyampaian materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek lainnya juga; semisal praktek nyata, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang lazim dikenal dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran.[2]
Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun hanya sedikit yang menjalankan ucapannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah hasanah (potret keteladanan yang baik) di tengah masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [3]
Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya mempraktekkan akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.
Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq… Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in..
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Ikhtiyar al-Ûlâ fî Syarh Hadîts al-Mala’ al-A’lâ karya Imam Ibn Rajab, sebagaimana dalam Majmû’ Rasâ’il al-Hafizh Ibn Rajab al-Hambali IV/44 dan Madârijus Sâlikîn karya Imam Ibnul Qayyim II/318-319
[2] Lihat Munthalaqât ad-Da’wah wa Wasâ’il Nasyriha, Hamd Hasan Raqîth (hal. 97-99) dan Ashnâf al-Mad’uwwîn wa Kaifiyyah Da’watihim, karya Prof. Dr. Hamûd bin Ahmad ar-Ruhaili hlm. 41
[3] It-hâf al-Khiyarah al-Maharah fî Ma’rifah Wasâ’il at-Tarbiyah al-Mu’atsirah , Ummu ‘Abdirrahmân binti Ahmad al-Jaudar hlm.14
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/36980-berdakwah-dengan-akhlak-mulia-2.html